Cerita Orang Kudus
Tentang Syech Jangkung- ( Saridin
)
By : ar. Nurul umam, S.Pd
SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa
yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang
hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri
bernama Dewi Samaran.
Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama
Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya
menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri
Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging
Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu
perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang
menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya
sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang
suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia
akui sebagai guru sejati.
Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke
Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga
sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari
hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus
bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat.
Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah
durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh
pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena
cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran
Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok
bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan
menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam
keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain
adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar,
yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah
satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok,
tetapi oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan
penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang
harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena
dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan,
yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap
membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani
hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan
dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya
istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya
menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan
Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar
ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu
membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan
itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan
ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya,
“Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada,
Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid
memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata
kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah
ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum
simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer
kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat
wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk
mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang
mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur
karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada
keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam
waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya
bengong.
Dalam WC
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan
Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang
guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan
Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat
Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam
diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan
perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia
bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga
menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah
Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak
menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana
pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah,
menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer
kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia
harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku
bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin
agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari
bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang.
Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin
disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin
mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak
perempuannya, Retno Jinoli.
Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu
lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan
badan pasti meninggal.
Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang
merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi
menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya,
Momok.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu
relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian,
Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok
tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta
dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu
boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga
hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari
kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan
piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali
seperti sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya
kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan
sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat
Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk
membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau
tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau
tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu
membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu,
leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para
pelayat.
Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat
untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang
masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan
menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh
Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada
warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi
disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang
tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih
lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau
Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar